LONGKI KEMAJUAN SULTENG

LONGKI KEMAJUAN SULTENG

KEAMANAN TERJAMIN

KEAMANAN TERJAMIN
Pilih No.Urut "3" Gubernur Sulteng

KAMPANYE LONGKI & SUDARTO

KAMPANYE LONGKI & SUDARTO
CAGUB SULTENG 2011-2016

For Executif Sulteng

For Executif Sulteng

Jumat, 04 Maret 2011

KONSOLIDASI DEMOKRASI SULAWESI TENGAH (2) Kekerabatan di Balik Keterbukaan

KONSOLIDASI DEMOKRASI SULAWESI TENGAH (2) Kekerabatan di Balik Keterbukaan

Versi printer-friendly KONSOLIDASI DEMOKRASI SULAWESI TENGAH (2)
Kekerabatan di Balik Keterbukaan
Ilham Khoiri dan Reny Sri Ayu Taslim
Terik mentari menyengat Kota Palu, Minggu (20/2) sore. Cuaca gerah itu tak menyurutkan gairah ratusan orang memenuhi halaman kantor Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tengah. Mereka menemani lima calon pasangan gubernur dan wakil gubernur yang sedang mengambil nomor undian.
Lima pasang calon duduk tenang di bawah tenda. Beberapa berusaha memasang senyum menawan. Setelah satu per satu mengambil nomor undian, setiap pasangan mengangkat nomor undian.
Pasangan Aminuddin Ponulele-Luciana Is Baculu, yang diusung Partai Golkar, mendapat nomor 1. Sahabuddin Mustapa-Faisal Mahmud (disokong 16 parpol nonparlemen) nomor 2. Longki Djanggola-Sudarto (PPP, Gerindra, Patriot, PDP, PKPB, Hanura) nomor 3. Rendy Lamadjido-Bandjela Paliudju (PAN, PDS, PKPI, PBR) nomor 4. Adapun Ahmad Yahya-Ma’ruf Bantilan (Partai Demokrat dan PKB) mendapat nomor 5.
”Siapa pun nanti pasangan yang menang atau kalah, itu kehendak rakyat,” kata Ketua KPU Sulteng Adam Malik. Khalayak menyambut seruan tersebut dengan teriakan dan lambaian bendera partai.
Sidang pleno terbuka itu menjadi bagian penting dari kemeriahan pesta demokrasi di Sulteng. Mekanisme pencalonan lewat partai politik dengan penghitungan perolehan kursi di DPRD sudah dilalui. Calon-calon diverifikasi dan ditetapkan. Begitu pula daftar pemilih yang mencapai 1,7 juta orang. Klimaksnya terjadi saat rakyat memberikan suara secara langsung pada 6 April nanti.
Sejauh ini semua prosedur demokrasi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur periode 2011-2016 tersebut sudah dipenuhi. Semangat demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat seperti tinggal tunggu hasil saja. Namun, benarkah semangat demokrasi sudah benar-benar mewujud lewat Pemilu Gubernur Sulteng?
Masyarakat kelas menengah di provinsi itu punya jawaban sederhana: secara prosedural memang demokrasi sudah terlaksana, tetapi secara substansial masih dipertanyakan.
Sudah bukan rahasia lagi bagi warga Sulteng bahwa di balik proses demokrasi itu beroperasi yang disebut politik kekerabatan. Ini penentuan sikap politik berdasar pertimbangan klan, marga, dan kelompok keluarga.
”Meski calon-calon tampak menjalankan tahapan-tahapan demokrasi, tetapi di balik itu sebenarnya politik kekerabatan berperan penting. Ikatan-ikatan keluarga masih dimainkan untuk membangun kepercayaan, simpati, atau sekadar kedekatan pemilih terhadap calon,” kata pengamat sosial-politik Universitas Tadulako, Palu, Tahmidy Lasahido.
Persaingan klan itu mudah terbaca dalam Pemilu Gubernur-Wakil Gubenur Sulteng tahun 2011. Kali ini pertarungan berlangsung antara klan Ponulele, Paliudju, Djanggola, Lamadjido, Bantilan, dan Baculu
Aminuddin Ponulele, misalnya, adalah nama yang sudah hampir 20 tahun terakhir berkiprah di dunia politik. Sebelumnya dia menjabat sebagai Rektor Universitas Tadulako. Dia terpilih sebagai Gubernur Sulteng 2001-2006 lewat pemilihan DPRD. Kalah dalam pilkada gubernur langsung pada tahun 2006, Aminuddin masuk kembali di DPRD Sulteng lewat Pemilu 2009 dan menjadi Ketua DPRD Sulteng.
Tahun 2011 ini dia maju lagi menjadi calon gubenur dengan menggandeng Luciana Is Baculu. Dalam usia yang kini 72 tahun, dia merasa masih bugar. ”Hasil survei menunjukkan, popularitas saya masih tinggi,” katanya.
Ponulele termasuk marga besar di Lembah Palu yang meliputi Palu, Donggala, dan Sigi. Dari klan ini, bukan hanya Aminuddin yang berkiprah di pentas politik lokal, melainkan juga beberapa kerabatnya. Maklum, Aminuddin adalah Ketua Dewan Pimpinan Derah Partai Golkar Sulteng yang berpengaruh.
Calon lain, Bandjela Paliudju, juga orang lama. Klan Paliudju banyak mendapat dukungan di kawasan Lembah Palu. Bandjela Paliudju pernah menjadi Bupati Donggala, Gubernur Sulteng dua periode: tahun 1995-2000 dan 2006-2011. Pada tahun 2011 ini dia tampil lagi. Hanya saja, kini sebagai calon wakil gubernur, berpasangan dengan Rendy Lamadjido sebagai calon gubernur.
Ma’ruf Bantilan, calon wakil gubernur yang mendampingi Ahmad Yahya (Wakil Gubernur periode 2006-2011), juga menyandang nama keluarga. Politikus Partai Golkar ini pernah menjadi Bupati Tolitoli selama dua periode (2000-2005 dan 2005-2010). Keluarga Bantilan adalah klan yang punya basis di Tolitoli dan sebagian Kabupaten Buol.
”Kakek saya, Muhammad Yahya Bantilan, adalah Raja Bantilan,” kata Ma’ruf.
Marga besar juga diusung Longki Djanggola. Djanggola adalah magau (raja) di Kerajaan Palu. Rumpun kekerabatannya tersebar di Kota Palu, Sigi, Donggala, dan sebagian wilayah Parigi. Longki, yang menjabat Bupati Parigi Moutong periode 2008-2013, memilih menggandeng Sudarto.
Saat ini Sudarto adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014 dari daerah pemilihan Sulteng. Ia pun pernah menjadi Bupati Kabupaten Banggai (1996-2001 dan 2001-2005).
”Saya tidak menampik pengaruh klan. Tapi, saya juga menggandeng Sudarto, yang bukan klan asli Sulteng,” kata Longki.
Mandek
Boleh saja setiap pasangan calon tidak memperlihatkan permainan sentimen klan di depan publik luas. Namun, di bawah permukaan, ikatan-ikatan kekerabatan masih berkelindan. Setidaknya hal tersebut mewarnai kehidupan politik di Sulteng selama 15-20 terakhir. Jabatan pemerintahan eksekutif dan legislatif diduduki figur-figur kuat dari klan-klan besar.
Bandjela Paliudju menjabat gubernur dua kali, periode tahun 1995-2000 dan 2006-2011. Aminuddin Ponulele menjadi gubernur 2001-2006 dan Ketua DPRD Sulteng. Kini dia juga mencalonkan diri lagi. Terhadap kenyataan ini, muncul kelakar yang beredar di kalangan masyarakat Sulteng.
”Selama 15 tahun ini rakyat Sulteng diurus dua orang itu secara bergantian,” kata seorang sopir taksi di Palu.
Kenapa ikatan klan begitu kuat di wilayah ini? Sulteng dulu merupakan wilayah dengan beberapa kerajaan. Ada Kerajaan Banawa di Donggala, Kerajaan Moutong di Parigi, Kerajaan Palu di Palu, dan Kerajaan Tojo di Tojo Una-Una. Selain itu, juga ada Kerajaan Bungku dan Mori di Morowali, Kerajaan Pamona di Poso, dan beberapa kerajaan lain.
Kerajaan itu menurunkan keluarga yang kemudian menjadi klan yang tetap hidup sampai sekarang. Ketika demokrasi diterapkan di Indonesia setelah Reformasi 1998, pengaruhnya masih berdenyut.
”Unsur tersebut sulit ditampik dalam pilkada,” ujar Surahman Cinu, Direktur Pengkajian Demokrasi dan Perdamaian, di Palu.
Apa dampaknya bagi demokrasi? ”Sentimen kekerabatan akan lebih memengaruhi pilihan masyarakat. Padahal, dalam alam demokrasi, pilihan semestinya lebih didasarkan pada perilaku rasional, program, figur, atau visi-misi dari calon. Artinya secara prosedural, demokrasi sudah berjalan, tetapi substansinya belum,” kata Cinu.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/02/02355782/kekerabatan.di.balik.keterbukaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar